Paus Fransiskus: Warisan Kasih dan Pelayanan (Arturo Sosa, S.J.)

Paus Fransiskus: Warisan Kasih dan Pelayanan (Arturo Sosa, S.J.)

Ada banyak cara untuk menyelami kehidupan Paus Fransiskus, yang mengenakan sandal nelayan, sandal Rasul Petrus, dalam gaya khas Jorge Mario Bergoglio. Sebuah gaya yang matang melalui rentang waktu panjang pembentukan, pelayanan, serta dedikasi yang tulus—mula-mula dalam kehidupan religius dan imamat di Serikat Jesus, lalu dalam tugas episkopalnya bagi Keuskupan Agung Buenos Aires dan Gereja Amerika Latin. Akhirnya, pelayanannya bagi Gereja semesta sebagai Uskup Roma, yang mencakup tugas mulia Petrus: mempersatukan seluruh Umat Allah dalam pengabdian bagi misi Tuhan Yesus Kristus.

Paus Fransiskus adalah pribadi yang dibentuk oleh pengalaman Latihan Rohani Santo Ignatius Loyola. Melalui latihan inilah, kita dapat menangkap gaya hidup autentiknya serta pelayanannya bagi Umat Allah dan seluruh umat manusia.

Prinsip dasar Latihan Rohani diwujudkan Fransiskus dalam keyakinannya yang teguh untuk menjadikan dialog sebagai sarana utama dalam membangun relasi yang tulus, mengatasi konflik, dan merajut rekonsiliasi. Dialog dimulai dengan mengakui perbedaan sebagai titik tolak, dan "menghargai pandangan sesama" menjadi langkah awal untuk berjalan bersama mencari solusi yang menyatukan.

Asas dan Dasar tak diragukan lagi menjadi landasan hidupnya. Hidup Fransiskus dibangun di atas batu karang, yaitu Kristus, bukan di atas pasir gagasan atau intuisi pribadinya. Dengan menempatkan Yesus sebagai pusat hidupnya, ia mengakui Allah sebagai satu-satunya yang mutlak dan "menyembuhkan dirinya" dari segala bentuk penyembahan berhala, yang begitu menggoda dalam konteks kehidupannya. Ketika ia meneguhkan Preferensi Apostolik Universal 2019-2029 sebagai misi Serikat Jesus, ia menekankan bahwa untuk menerangi hidup dan panggilan kita, preferensi tersebut harus berlandaskan yang pertama: menunjukkan jalan kepada Allah melalui Latihan Rohani dan pendalaman batin. Jalan menuju Allah hanya dapat ditunjukkan oleh mereka yang sungguh-sungguh menapakinya dan merasakan Tuhan berkarya dalam hidup mereka, yang mampu menangkap bisikan Roh di tengah kerumitan sejarah.

Paus Fransiskus tak pernah menyembunyikan kerapuhannya dan tak pernah menyerah pada godaan untuk berpura-pura kuat. Minggu pertama Latihan Rohani membawanya bukan hanya untuk mengakui diri sebagai pendosa, mengaku kelemahannya, dan memohon pengampunan, tetapi juga untuk mengalami belas kasih Allah dan bersandar pada doa saudara-saudarinya. Dari kesadaran akan kelemahannya, lahirlah seruan yang kerap ia ulang: "Jangan lupa mendoakan aku." Ia memohon hal ini karena ia merasakan kekuatan dari doa Umat Allah. Berkali-kali ia menegaskan perlunya menerima sakramen rekonsiliasi dan mendorong kita semua untuk sering melakukannya. Dari sinilah pula muncul keteguhannya bahwa para imam harus mencerminkan wajah Allah yang penuh belas kasih—tanpa menghakimi, melainkan menyambut semua orang dengan tangan terbuka: semua, semua, semua.

Pengalaman minggu kedua Latihan Rohani terpancar jelas dalam hidup dan kesaksian Paus Fransiskus. Ia mengenal Yesus melalui permenungan Injil yang tekun. Ia mencintai Yesus, sang sahabat, sang tempat berbagi—Yesus yang ia temui dalam percakapan Ignatian, di mana ia belajar membuka diri sepenuhnya dan menerima rahmat yang diperlukan untuk menjalankan misinya. Motto kepausannya menyatakannya: miserando atque eligendo (Tuhan telah berkenan mengasihi aku dan akhirnya memilih aku). Seperti pemungut cukai Matius, Jorge Mario Bergoglio mengalami bagaimana Tuhan mengasihaninya dan memilihnya menjadi murid-Nya.

Sepanjang hidupnya, ia terus bertumbuh dalam keakraban dengan Yesus, yang membawanya mengatasi kelemahan dengan mempercayakan diri sepenuhnya kepada-Nya, hingga ia menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam tangan Allah.

Kontemplasi Penjelmaan membawanya pada pandangan yang universal, sehingga ia memilih untuk ambil bagian dalam penebusan dunia. Pandangan Trinitaris ini tak hanya mampu melihat kerumitan dan kekayaan kehidupan manusia, tetapi juga membawa kita untuk berbelas kasih. Laki-laki dan perempuan, anak-anak, remaja, dan orang tua dari beragam budaya, hidup dalam situasi yang beragam—antara sehat dan sakit, sukacita dan duka, perang dan damai—disatukan oleh impian akan dunia yang lebih baik. Kontemplasi inilah yang mendorong Allah yang Esa dan Trinitaris untuk mengutus Putra-Nya, yang dengan merelakan segala hak istimewa, menderita hingga wafat, membuka jalan kepada Bapa, di mana kita semua dapat menjadi saudara.

Meditasi Dua Panji menginspirasinya untuk mengidentikkan diri dengan Yesus yang lahir dalam kemiskinan dan kerendahan hati. Hal ini mengajarkannya untuk menemui Tuhan di pinggiran—dalam wajah para migran, tunawisma, pengangguran, atau mereka yang hidup dari gaji tak seberapa. Ini mengajarkannya untuk melepaskan keinginan akan kehormatan dan menerima penghinaan demi Injil.

Memilih jalan Yesus berarti menghadapi misteri salib. Itu berarti menemani-Nya saat Ia membasuh kaki murid-murid-Nya sebagai teladan pelayanan, saat Ia memecahkan roti dan membagikan anggur sebagai tanda penyerahan diri hingga tetes terakhir—Ia menanggung dosa dunia. Ia membentangkan tangan-Nya di kayu salib bagiku, bagi setiap manusia. Saat ia memandang Yesus yang tersalib, pandangan Fransiskus beralih kepada mereka yang "tersalib" di dunia ini, dan kerinduannya untuk menemani Tuhan membawanya ke salib yang sama—dari sana ia dapat merenungkan besarnya tantangan untuk mengubah dunia, dan karenanya memilih untuk menyatukan pengabdiannya dengan pengabdian Yesus.

Dari para perempuan yang mendapati makam kosong, ia belajar untuk tidak mencari di antara orang mati Dia yang hidup, dan mengalami penghiburan karena bertemu Sang Guru yang bangkit. Penghiburan yang membuka mata hati untuk memahami nubuat para nabi, merasakan api cinta tanpa syarat, merangkul-Nya dalam pemecahan roti, dan bergabung dengan komunitas murid, di mana Tuhan menampakkan diri untuk menguatkan mereka, seperti yang diceritakan Lukas dalam perikop Injil hari ini.

Sukacita karena mengalami Kristus yang Tersalib dan Bangkit melenyapkan ketakutan untuk bersaksi tentang apa yang telah mengubah hidupnya selamanya. Sejak saat itu, Jorge Mario Bergoglio mendedikasikan hidupnya untuk membagikan sukacita Injil. Terpilih sebagai penerus Petrus, Fransiskus tak takut melawan arus dalam membela hak asasi manusia atau memperjuangkan perubahan atas tindakan manusia yang merusak lingkungan. Dengan kata dan tindakan, ia mengajak kita menyambut migran sebagai saudara, mendekati mereka yang terpenjara dan tersingkir. Suaranya tak henti menyerukan perdamaian dan menegaskan bahwa setiap perang adalah kegagalan kemanusiaan. Dialog adalah jalan untuk membangun keadilan, sementara kekerasan meruntuhkan jembatan antarbangsa. Saat ruang partisipasi demokratis menyempit di seluruh dunia, Fransiskus mendorong Gereja menuju sinodalitas—memperluas ruang partisipasi agar kita menjadi umat yang berjalan menuju dunia yang penuh persaudaraan.

Pengalaman rohani yang terangkum dalam Latihan Rohani St. Ignatius, yang dihayati dalam hidup Jorge Mario Bergoglio, mencapai puncaknya dalam kepekaan untuk menemukan Allah dalam segala hal. Kontemplasi untuk mendapatkan cinta membuka seluruh indra untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan pribadi dan sosial, dalam alam dan sejarah. Itulah mengapa kata-katanya, tindakannya, gaya hidupnya, danpengakuan akan kerapuhannya... membawanya untuk menaruh seluruh percayanya pada Allah, dan hanya pada-Nya.

Saudara dan Paus kita, Fransiskus, kini sepenuhnya berada dalam tangan Allah. Mari kita biarkan kesaksiannya terus menginspirasi Gereja untuk ambil bagian dalam misi penebusan Kristus, dan Serikat Jesus senantiasa menginginkan mencintai dan melayani dalam segala hal.