Ungkapan “Serikat Kita” & Kerasulan Serikat Jesus dalam Formula Instituti
Tulisan Castro
A. “Serikat Kita” (nuestra Compañía): Suatu Spiritualitas Kelompok
Formula Instituti menunjukkan salah satu ciri awal identitas yang tercermin dalam teks, yakni kesadaran bukan sekadar sebagai bagian dari kelompok melainkan kesadaran "menjadi kelompok itu sendiri". Penyebutan frasa "Serikat kita" yang muncul sejak dini (tahun 1540) bersumber dari dokumen-dokumen sebelumnya. Deliberatio Primorum Patrum (1539) disusun berdasarkan kesadaran mendalam kelompok yang telah terbentuk secara emosional dan spiritual. Dalam dokumen tersebut kita menjumpai berbagai ungkapan seperti: panggilan kita, pikiran-pikiran kita, persoalan kita, orang-orang kita, jiwa jiwa kita, keinginan-keinginan kita, dosa-dosa kita, jiwa-jiwa kita, pandangan kita, intensi-intensi kita. [25]
Kelompok para sahabat pertama yang telah mulai berkumpul di sekitar Ignatius di Paris berproses menjadi dewasa, ketika mereka semakin menyadari identitas bersama sebagai satu kesatuan kolektif, “kita” dan berkembang dalam pengambilan keputusan dengan bertanya kepada Tuhan, “Apa yang Engkau kehendaki dari kami Tuhan?” [26]
“Tuhan yang mahabaik dan mahapengasih telah berkenan mengumpulkan dan mempersatukan kita bersama, meskipun kita ini lemah dan datang dari beragam wilayah dan budaya, kita yang telah dikumpulkan dan dipersatukan oleh Tuhan, jangan kita menceraikannya, sebaliknya, dari hari ke hari kita harus berusaha memperkuat dan memperkokoh kesatuan kita, menyatakan diri kita sebagai satu tubuh, satu sama lain terlibat dalam perhatian bersama, agar dapat menghasilkan buah lebih banyak bagi sesama kita. Sebab kekuatan spiritual yang digalang menjadi kesatuan itu menjadi lebih kokoh dan lebih berani dalam menghadapi tantangan daripada bila terpecah belah”
Deliberatio Primorum Patrum 1539
Dalam FI, ungkapan “Serikat kita” muncul 3 kali: “siapa saja yang ada dalam Serikat kita”, “seminari Serikat kita”, dan “diterima di dalam Serikat kita” dan dua kali “aturan kita” dan “gambaran kaul kita”. [27]
Empat unsur konstitutif. Para sahabat pertama memandang Serikat Jesus sebagai bagian konstitutif hidupnya. Bagi mereka, Serikat bukan sekadar wadah, melainkan telah menjadi "identitas kolektif" yang melekat dalam diri masing-masing “saya tubuh kelompok” atau “kita”. Dalam hal ini, ungkapan “milik kita” bukan semata-mata bermakna posesif melainkan, di satu pihak, memuat makna afektif yang membuat setiap orang memahami hidupnya sebagai bagian dari yang tidak bisa ditarik kembali dari rancangan hidup bersama...Oleh karena itu, istilah “milik kita” (nuestra) menandakan pencapaian kesatuan jiwa antar-anggota dengan empat unsur sebagai konsekuensinya:
- Tujuan bersama yang diungkapkan di hadapan Ekaristi (kaul) di dalam peristiwa di Montmartre (15 Agustus 1534), “membantu jiwa-jiwa/sesama”.
- Satu-satunya dan inti kekuatan yang yang sama menyatukan kelompok: Yesus, yang memanggil ke dalam kebersamaan dan memberikan tugas perutusan. “Sahabat-sahabat dalam Tuhan (amigos en el Señor) telah membentuk dan menanamkan di dalam ‘Serikat Jesus’ suatu dimensi yang makna sentralnya ditemukan dalam ikatan personal bersama Yesus melalui pengalaman Latihan Rohani.
- Sarana-sarana yang sama untuk mewujudkan perutusan: pelayanan-pelayanan Sabda dan karya-karya cinta kasih.
- Gaya, cara hidup dan cara bertindak yang sama; dibentuk dari nasihat- nasihat Injil yang dipetik dan ditafsirkan dan dimaknai oleh Konsitusi Serikat Jesus. [28-30]
Konsep “milik kita” (nuestra) ini hanya dipahami secara tepat jika diberikan empat unsur tersebut, diterima dan diperkuat satu sama lain. Keempatnya diperlukan; jika salah satu tidak ada, kita tidak memiliki Serikat Jesus. Masing-masing dari empat unsur tersebut memuat tiga unsur yang lain dan jika kurang “menara” yang disebut Formula Instituti tidak dapat dibangun. [31]
FI menempatkan diri kita ini di dalam jantung hati Serikat. Dengan demikian, menjadi bagian dari Serikat ini mengharuskan transformasi diri dari sekadar “saya yang dijadikan bagian dari Serikat” menuju kesadaran dan tekad untuk membentuk suatu “kita”, diawali dengan latihan rohani “penaklukkan diri” [LR. 21] yang kemudian berkembang menjadi penyangkalan diri dalam Kristus, sehingga siap diutus. [32]
B. Spiritualitas Perutusan - Pelayanan
Serikat dikenal sebagai pengikut Tuhan yang aktif dan dalam konteks mengabdi Tuhan yang aktif ini, anggota Serikat menerima panggilan untuk “membantu jiwa-jiwa” (“ayudar a las animas”). Meditasi Raja Abadi dan seluruh rangkaian Minggu Kedua LR memberikan inspirasi sekaligus landasan bagi semangat kerasulan Jesuit: pengenalan akan Tuhan yang mendalam harus berujung pada kasih dan kesetiaan dalam mengikuti-Nya.[39]
Menghormati sejarah adalah wujud memuliakan Tuhan. Formula Instituti merangkum gerak dinamis Triniter yang menyatukan dimensi transenden atau surgawi dengan dimensi imanen atau “duniawi”. [40]
- Mengikuti Kristus berarti berjalan ke arah tujuan (Allah) dengan energi dan terang yang dianugerahkan Roh Kudus. Kehidupan seperti ini adalah hidup yang memuliakan Allah.
- Di masa kini, cara memuliakan Allah seperti ini sama sekali tidak berarti menciptakan eksklusivitas atau sekadar terbatas pada ritual-ritual ibadah yang kita kenal sebagai “berada di tempat doa” (intratempla). Menghormati sejarah justru berarti terlibat aktif dalam sejarah untuk membangun dan memperjuangkan kebaikan bersama (el bien común): “sesuai dengan kemuliaan Allah dan kebaikan bersama” dan “yang dalam pandangan Tuhan (melalui pandangan Jenderal) sesuai dengan kemuliaan Allah dan kebaikan umum”.
Tujuan dicapai di dalam sejarah dengan ambil bagian di dalam dimensi inkarnatoris temporal dari Trinitas Kudus yang sedang melaksanakan karya keselamatan. [43]
- Asas dan asal yang menginspirasi pelayanan-pelayanan adalah otoritas hirarkis Gerejawi yang memberi perutusan “Pater Jenderal” atau “Para Paus,” dan Jesuit menerima perutusan sebagai orang yang dicintai oleh Allah Tuhan kita.
- Pada saat yang sama, ‘menjadi Jesuit’ adalah sarana yang mewujudnyatakan (menginkarnasi) perutusan Gereja. Karya penebusan dimulai di dalam misteri Inkarnasi.
- Yang menjadi tujuan (sasaran “ad quem”) adalah Allah sendiri beserta kemuliaan-Nya, yang termanifestasikan dalam sejarah dan terbukti kebenarannya melalui upaya menolong serta memajukan jiwa-jiwa, yang hanya dapat terwujud dengan memperjuangkan kebaikan bersama.
Sejak masa pembentukannya Serikat menyadari bahwa Allah tidak memberikan kharisma khusus yang terbatas pada pelayanan tertentu (merawat orang sakit, pendidikan, katekese, anak-anak, orang miskin), tetapi Allah justru membuka ruang kerasulan yang luas bagi para Jesuit dengan beragan sarana untuk mencapai tujuannya. FI kemudian mengklasifikasikan kegiatan kerasulan ini ke dalam dua kelompok, sebagaimana yang kita kenal: [46]
[a] melalui khotbah-khotbah, pelajaran dan segala bentuk pelayanan Sabda Allah yang lain, serta dengan memberikan Latihan Rohani, mengajar agama Kristiani kepada anak-anak dan orang-orang sederhana, serta memberikan penghiburan rohani kepada umat beriman dengan mendengarkan pengakuan dan melayani sakramen-sakramen lainnya.
[b] lagi pula, Serikat mau menawarkan jasanya dalam mendamaikan orang yang berselisih dan membantu serta melayani penuh cinta mereka yang berada di dalam penjara atau di rumah sakit, dan melakukan karya amal kasih lainnya yang sekiranya akan menambah kemuliaan Tuhan dan kebaikan bersama.
Hidup St. Ignatius sendiri mencerminkan integrasi harmonis dua kelompok pelayanan atau praktek pastoral: percakapan rohani, awal Latihan Rohani dan perhatian kepada orang-orang miskin dan sakit, sebagaimana dicerminkan dari waktu-waktu awal pertobatannya di Manresa hingga saat berada di Venezia, Vincenza dan Roma (Rumah Santa Marta). Praktik karya kasih bagi Ignatius dan dalam spiritualitas Ignasian Ignatius bukan pelengkap bagi pelayanan-pelayanan “rohani”, melainkan unsur pokok dan ciri khas di dalam mengikuti Kristus.
Identitas khas Serikat tidak terletak pada jenis kegiatan yang dilaksanakan, melainkan pada dimensi Triniter yang menjadi fondasinya: asasnya (dari mana ia berasal dan bersumber), dan bagaimana dijalankan (melalui diskresi) serta ketulusan niat yang senantiasa mengarah ke tujuan utama (kemuliaan Allah dan kebaikan jiwa-jiwa). [50-51]